Story: Purnama diatas Kapuas

#Story
Purnama diatas Kapuas
Karya: -


Di tanah yang merah ini sepertinya pengembaraanku akan bermula, petualangan yang kan terpatrikan dalam sejarah hidupku menungguku didepan. Kutapaki gambut demi gambut, rawa demi rawa, semak dan belukar berduri yang tak kunjung berujung. Empat puluh kilogram kupanggul beban dengan transport terakhir sampan rawa yang kunaiki sejam yang lalu. Memang diperlukan tekad yang kuat untuk menjalani niatan. Niatan hidup yang sudah kupilih dan tanggung jawab yang harus kupertanggungjawabkan sebagai penyandang gelar sarjana pendidikan. Tak tanggung-tanggung walau harus kusebrangi laut jawa tuk hijrah dari segala kemewahan fasilitas yang ditawarkan dinas pendidikan. Fasililtas yang mungkin diperoleh oleh lulusan dengan IPK 3,9 sepertiku pastilah mudah ditebak. Namun aku mau lebih, lebih dari sekedar ruangan ber-AC, lebih dari sekedar gaji. Karena menurutku hal itu takan berarti jika masih ada sebagian masyarakat negeri ini yang buta huruf. Masyarakat yang makin terpinggirkan zaman, suku-suku pedalaman yang bahkan tak mengenal nyala lampu. Tekadku sudah bulat untuk mengajarkan baca tulis kepada masyarakat pedalaman kapuas. Ditemani seorang kawan penunjuk jalan yang kukenal di desa terdekat. Tukan memanduku menerobos rimbunnya rimba. Rapatnya sulur beringin bak tirai kami sibakkan. Ditemani nyala lampu senter merangsek ke jantung pedalaman. Titian nyala obor menuntun kami pada sebuah bangunan berhias ukiran khas suku dayak. Gubuk sepuluh meter itu mengepulkanan asap dari salah satu ruangan yang belakangan kuketahui sebagai dapur. Maklum belum pernah kujejakan kaki di tanah borneo ini. Sesosok laki-laki paruh baya menyambut kami dengan bahasa khas suku dayak yang tak pula kuketahui. Dia menuntun kami memanjat rumah. Untuk berlindung dari serangan binatang buas dan banjir, masyarakat suku dayak membengun rumah panggung tinggi dengan disokong tiang-tiang kayu. Dalam perkenalan Tukan memperkenalkanku pada tetua adat di dalam rumah. Kulihat perkakas tradisional suku dayak bergelantungan di langit-langit rumah. Kulihat pula gadis yang duduk di sebelah kepala suku. Pandangan mataku terhenti kearahnya, siapa dia pikirku. Cucu kepala suku, jawab Tukan. Seperti gadis dayak umumnya dia berkulit putih khas malenesia dengan atribut lengkap kesukuanya, bulu burung berwarna hitam putih di kepala, baju adat warna warni, dan tentu saja anting-anting besar. Hariku dimulai dengan mengumpulkan anak-anak suku di desa untuk mulai pelajaran pertama. Mengeja huruf tentu saja. Huruf demi huruf kususun. Kata demi kata kuucapkan. Kalimat demi kalimat mereka tirukan. Dan bukan hanya anak-anak yang tertarik mengikuti pelajaranku. Orang dewasa mendekat untuk mendengarkan kelas rimbaku. Setidaknya itulah ungkapan yang bisa mewakili keadaanku disini. Dan tentu saja si gadis dayak cucu kepala suku yang belakangan kuketahui namanya Elkan. Mereka belajar, begitupun aku. Mereka membaca abjad, aku membaca alam. Mereka menyanyikan lagu indonesia raya, kunyanyikan lagu tuk Elkan. Gadis dayak cucu kepala suku yang diam-diam ku menyukainya karena memang hanya dialah yang menjadi secercah cahaya di rimba belantara kapuas ini. Namun seberkas cahaya ini perlahan meredup setelah kuketahui Elkan sudah dijodohkan dengan pemuda dari suku lain. Pemuda gagah, pendekar suku setempat, dan tentu saja pilihan ketua suku. Untuk suatu alasan ini merupakan pertimbangan yang logis untuk menjodohkan perawan terhormat dari suatu suku dengan pria suku lain yang juga tampan, dan mestinya ada unsur politik dibalik perjodohan itu. Huhh, tidak di kota atau di belantara rimba, politik pun bermain peran dalam mengurusi keberlangsungan generasi anak menusia. Saat bulan purnama datang dengan anggun menyapa malam, kulihat Elkan duduk di sebuah batu tak jauh dari desa. Menatap purnama diatas ngarai belantara. Kulihat dia menatap purnama, namun semakin kudekati dirinya serasa kutatap dua purnama saling berhadapan dan yang satu dalam wujud manusia. Kudekati dan kukatakan sejujurnya perasaanku padanya dan kami pun sama-sama tahu dan sadar bahwa saling menyuka. Dalam bahasa anak muda yang gamblang "aku suka kamu, kamu suka aku". Terkejut tak terbayang mendengar kalimat itu karena kupikir aku hanyalah laki-laki pendatang, pak guru baru yang menjadi pengagum rahasianya. Hal ini beralasan sebab yang dia katakan bahwa aku memiliki lebih banyak pengetahuan dari rata-rata pria di desa ini dan dia kagum akan hal itu. Sadar bahwa sukunya membutuhkan pengetahuan modern untuk tetap bertahan ditengah gempuran badai perubahan dunia yang semakin cepat. Hutan dibabat, tanah dikeruk, tambang digali, hewan diburu, tapi kami tak kuasa melindungi apa yang kami miliki", katanya. Sudah berkali-kali orang datang menawarkan lembaran rupiah yang banyak untuk membeli desa kami dan dijadikan kawasan industri. Berkali kali pula anggota suku kami diganggu dan disakiti hanya karena mereka tak dapat menggusur kami secara halus. Dengan pemaksaan diupayakan pula untuk alasan perluasan lahan pertambangan dengan dalih memenuhi permintaan pasar. Permintaan pasar yang seperti apa itu juga kami tak paham, kata Elkan. Kami hanya peduli dengan desa, penduduk, ladang, dan ternak kami. Kami hidup disini turun temurun sejak nenek moyang dan tak pernah kekurangan pangan karena bakti kami kepada dewata dan alam membalasnya dengan persahabatan. Persahabatan yang cukup membuat kami kenyang dengan hasil bumi sepanjang musim. Tak kusangka ada kata-kata orang pedalaman sebijak ini. Kata-kata yang secara ilmiah pun dapat dibuktikan dengan teori keseimbangan ekosistem. Kata-kata yang membuatku semakin mengagumi gadis ini. Walaupun kuyakin Elkan tak tahu apa pula itu ekosistem. Musim panen tiba, jagung dipothel, padi diikat dan kemudian disimpan dalam lumbung desa. Menyabit padi bukanlah hal yang terlalu sulit bagiku karena sewaktu di jawa pamanku juga memiliki sawah dan sering kubantunya memanen padi saat sudah menguning. Api dinyalakan, peralatan ritual ditata, doa dibacakan, dan mulailah ritual panen raya di desa. Desa lumbung seribu, begitu namanya. Dan memang karena banyaknya lumbung dan bahan oangan yang dihaslikan. Kegiatan ini belum pernah kuikuti secara langsung. Para pria ke ladang, wanita ke dapur. Hari-hari yang tidak dapat kutemui ketika di jawa. Kota-kota di jawa yang penuh sesak, orang lalu lalang di jalanan dengan urusanya masing-masing, berseragam, berdasi, bermobil, dan tentu saja berduit. Duit yang kadang mebutakan sebelah mata manusia, yang menggelapkan pikiran, dan yang mampu membuat manusia melakukan segala hal tuk mendapatkanya, seperti wanita yang selalu dapat membius pria. Duit yang membuatku muak saat membicarakanya, karena akal sehat selalu menjadi nomor sekian kalau mata sudah hijau. Dasi yang menjadi atribut resmi bagi sebagian kalangan orang yang duduk di gedung hijau bundar yang sering disebut wakil rakyat. Wakil rakyat yang seharusnya bisa mewakili dan rakyat merasa terwakili. Bukan hanya omong kosong dan bualan, tapi sandang-pangan-papan dan pendidikan nyata yang rakyat nantikan. Dan tampaknya sekarang aku benar-benar sedang terbius oleh wanita dayak yang kukagumi bukan hanya karena kacantikanya, namun juga karena akhlaknya dan budi pekertinya. Perayaan panen yang meriah tiba-tiba terhenti karena adanya gangguan dari seerombolan orang asing yang datang. Orang asing berdasi dan bermobil yang membuatku muak. "mereka lagi" kata Elkan cemas. Mereka yang hendak meminta desa kami untuk dijadikan areal pertambangan. Mereka yang hendak membeli tanah leluhur kami. Sudah sering mereka memaksa kami menyerahkan tanah leluhur. Dan tampaknya ini manjadi sesuatu yang rumit ketika ada pemuda suku yang marah karena merasa terganggu dengan kedatangan mereka orang berdasi sambil membawa parang hendak mengayunkan, namun akhirnya berakhir tersungkur penuh luka, luka berbentuk lubang yang terukir di dada kiri pemuda itu. Serentak pemuda desa lainya berdatangan sambil membawa senjata tradisional untuk mengusir orang-orang berdasi dan ternyata berduit itu. Tiba-tiba terjadi kerusuhan antara orang-orang desa dengan kelompok orang-orang berdasi tadi. Korban berjatuhan baik dari masyarakat desa maupun orang berdasi. Orang berdasi itulah yang hendak mendirikan areal pertambangan permata. Menurut mereka desa tempat tinggal kami mempunyai simpanan permata dalam jumlah banyak dengan kualitas terbaik dan pastinya laku di pasaran. Keadaan menjadi kacau, rumah dibakar, dijarah, dibunuh. Hendak kutolong, namun apa daya. Suara Elkan berteriak diatas rumah panggung yang hampir roboh karena setengahnya terbakar. Kunaiki rumah panggung namun terlanjur roboh. Roboh dengan kobaran api. Roboh dengan kepala suku yang masih di dalam. Dan Elkan masih di dalam melindungi kepala suku. Lemas rasanya lututku melihat kenyataan Elkan mati tertimpa reruntuhan bangunan yang berkobar. Terbujur hangus kepala suku dengan potongan kayu menembus perutnya. Mendidih ubun-ubun ini, ingin kuhajar orang-orang berdasi ini. Kuambil sebilah parang hendak kuayunkan ke kepala-kepala orang ini. Namun alam telah banyak mengajarkan kepada manusia untuk membuat bubuk peledak pelontar timah panas. Timah panas yang bisa melubangi tubuh manusia yang terkena. Dan tubuh salah satu manusia itulah aku. Terkapar membentur tanah berlumuran darah. Bisa kurasakan darah mengalir di dada dan punggungku melalui dua lubang yang terpatri. Mengalir pelan sepelan aliran sungai kapuas. Kepalaku pusing, gelap mataku, karena darah yang mengalir tak jua terhenti. Yang teringat hanyalah malam dimana aku dan Elkan saling menatap, diselimuti belukar rimba, bercahayakan purnama. Tak kusangka pengabdianku kan berakhir disini. Berakhir dengan mewariskan baca tulis pada suku pedalaman dayak. Tatapan mataku yang terakhir, rumah panggung yang hangus, dan mayat Elkan. Elkan, purnama di kapuas yang terakhir kali kulihat.


Sumber: 
http://www.kompasiana.com/rahman_alboneh/cerpen-purnama-di-kapuas_550082a3a33311d37251138b

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi: Seni Tari Jaipong

Materi: Musik Tradisional

Materi: Musik Jazz